SERI 1
GIVE THE SUN FOR OUR EARTH
By: yosasensei
Part 1….
Saat itu, hujan masih lebat. Iant berdiri di depan pintu yang tertutup itu. Memandang keluar dari jendela, rumput-rumput yang basah dan pohon-pohon yang selalu meneteskan air dari daunnya, gemuruh hujan serta petir yang menyambar-nyambar menambah meriah suasana di tempat itu.
Iant sedang sendiri dirumahnya, orang-tuanya pergi ke Bali kemarin sore tentunya dengan adiknya. Dia diprasrahi rumah itu beserta peragkatnya.
Hari pertama dia ditinggal serasa seperti didalam rimba alam yang mengheningkan seluruh ruangan di rumah yang besar itu. Sepi tak ada percakapan, hanya ada suara televisi di sudut ruangan keluarga yang lengang. Dia menarik tempat duduk di meja makan dan meletakannya di depan jendela.
Dengan secangkir teh hangat di tangannya, Iant menyimak sekali lagi hujan yang begitu derasnya. Meminum seteguk-demi seteguk teh hangat di tangannya. Setelah tegukan terakhir, ponselnya berdering,
“Halo,…. Oo Nita, ada apa nit kok nelpon..”
“nggak, Cuma mau nanya lo dirumah ma sapa?”.
“sendiri kok, lo mau kesini?”.
“ya, ntar malaman aja, masih hujan kok”.
“iya..iya. aku tunggu ya”.
“yaa..”.
Tapi sebelum ponsel Iant dimatikan, datanglah petir menyambarnya dari luar jendela. Kilatnya begitu biru, biru cerah disertai merah kekuningan yang menyilaukan. Ponselnya hangus terbakar,kacanya pecah dan tubuh Iant terpental lima meter kebelakang menabrak tembok ruangan. Tubuh Iant hampir semua melepuh, kecuali kepalanya yang mulai mengalir darah segar.
Tangannya tak bisa digerakkan sedikitpun, sepertinya ajal hendak menjemputnya. Dia melihat cahaya putih yang menyilaukan mata. Tapi cahaya itu mulai redup dan perlahan-lahan hilang dari pandangan dan berubah menjadi hitam, hitam pekat.
Dalam ruangan hitam itu, Iant berjalan tanpa hentinya. Dia merasakan kalau ruangan itu tak berujung. Dia terus berjalan, berjalan, dan berlari tanpa henti hingga menemukan sepercik cahaya. Iant pergi mendekati cahaya tersebut, semakin dekat dan dia melihat manusia dengan baju hitam memanggilnya.
“hei nak. Kemarilah”, kata orang itu. Iant yang belum tahu siapa orang itupun hanya menurut.
“Ma..maaf, anda siapa dan tempat apa ini?”, kata Iant memberanikan diri.
“Hahaha… sebenarnya orang-orangpun tidak mau melewati jalan ini”, kata orang berpakaian hitam itu. “Maaf, perkenalkan. Nama saya Thomas”.
“Hem, kalau begitu. Apa yang anda maksud dengan tidak mau melewati jalan ini”, kata Iant lebih dalam.
“jika kuceritakan pasti kau tak akan percaya. Bahwa apa yag kukatakan itu benar”.
“jadi, ceritakanlah”, kata Iant menjawab.
“Sebenarnya nak, kau ini ada di perbatasan antara tiga penjuru. Yaitu, Kehidupan, Kematian, dan Kekekalan. Dan kau baru saja lari dari duLia kematian dan menuju kesini. Kau hebat dapat lari kesini tanpa takut. Jikalau saat itu kau melihat dengan teliti, maka kau akan melihat jalan yang kau lewati seperti dibelakangmu”, kata Thomas menunjuk ke belakang Iant.
Iant lalu menoleh dengan segera dan mendapati apa yang dibicarakan Thomas. Dibelakangnya hanya ada bara api, tiang gantungan, tiang pemenggal, dan tombak-tombak yang berderet rapi.
“Jadi itu yang aku lewati tadi!?”, Tanya Iant tak percaya.
“Benar nak, tapi aku salut padamu. Kau tidak takut melewati itu. Dan aku ingin bertanya sesuatu padamu”.
“Aku hanya melihat hitam kelam, dan kau mau bertanya apa?”.
“Kau itu mati bagaimana, sehingga dapat menemuiku?”.
“Haa, jadi. Aku sudah mati? Tidak mungkin-tidak mungkin”, kata Iant berdiri tak percaya.
“Apa kau ingat apa yang terjadi sebelum kamu di tempat yang gelap ini?”, Tanya Thomas lebih rinci.
Iant duduk kembali dan berkata, “aku hanya..”, tiba-tiba Iant mengingatnya dan menangis. ”aku tersambar petir dan terpental lima meter dan menghantam tembok. Setelah itu, aku melihat cahaya putih menyilaukan. Setelah sadar aku sudah disini”.
“jadi, kau mati karena tersambar petir. Lalu bagaimana kehidupanmu di usia lima belas tahun ini, menyenangkan?”.
“Ya, …”, setelah itu Thomas dan Iant berbicara tentang kehidupan Iant dari awal dia dapat mengingat dan dia disini. Carita itu begitu panjang sehingga menghabiskan waktu lebih dari lima jam. Setelah perbincangan, Thomas memberikan sesuatu pada Iant.
“Nak, kehidupanmu masih panjang dengan deritamu yang sekarang ini,jadi bawalah gelang ini bersamamu agar engkau diselamatkan dan menyelamatkan”, kata Thomas sembari memberikan gelang itu.
“apa maksudmu”.
“Sudahlah, kau akan tahu dengan sendirinya. Pergilah ke arah kananmu, dan jangan kamu berhenti atau berbelok. Berlarilah jangan berhenti. Karena duLia memanti kedatanganmu”, kata Thomas kemudian menghilang sedikit demi sedikit seperti asap.
Iant tapa basa-basi berlari menuju arah yang ditentukan Thomas, dia berlar dan terus berlari. Sehingga dia menemukan cahaya putih yang besar, sebesar pintu. Dia meloncat dan masuk menerobos dari cahaya itu. Putih dimana-mana, tapi saat Iant menemukan sebuah pintu dan membukanya. Matanya yang terpejam, kembali terbuka.
Didepannya kini berdiri Nita dan kawan-kawan satu kelasnya. Mereka begitu cemas menantikan kesadaran Iant yang sudah lima hari koma di rumah sakit. Apalagi nita yang mengetahui bahwa Iant sudah siuman. Dia memeluk Iant dengan erat seperti tak mau kehilangan dia kembali. Putri dan teman-teman lainnya juga memeluknya dengan haru. Iant masih terbelalak kaget dan haru melihat teman-temannya sangat mengkhawatirkannya. Iant yang tidak tahan akan kegembiraannya berkata….
“Aku Pulang”.
Semua orang yang ada di tempat itu menangis haru dan senang, tak terkecuali dokter yang menolongnya. Mereka meneteskan air mata dari hati mereka, dari kerinduan mereka terhadap temannya yang hampir meninggalkan mereka untuk selamanya.
Iant teringat gelang yang diberikan Thomas padanya sebelum dia pulang. Saat mengankat tangannya, gelang itu sudah ada di tangan kanannya dan terdapat tulisan Give the Sun for Our Earth. ‘Berikan Mentari untuk Bumi Kita’. Iant hanya termenung memandang gelang emas di tangannya, dan mengingat kejadian saat bertemu denga Thomas.
“Yan, kita sangat mengkhawatirkanmu karena kamu sudah lima hari koma di rumah sakit”, kata Satria.
“Apa, lima hari. Selama itu? Lalu, gimana dengan orang tuaku”, kata Iant tak percaya.
“orang tuamu belum bisa datang dan kami dissuruh menjagamu selama sebulan. Karena papamu ada proyek sekalian disana”, jelas Very.
Iant hanya terdiam membeku sampai dia berkata,”Terima Kasih teman-teman”. Setelah mengatakan itu, Iant menangis dengan pelan.
Semua orang yang ada disitu hanya diam dan mencoba menahan air mata yang mau keluar, meskipun sudah ada yang keluar. Hingga ada satu anak mengulurkan tangannya didepan Iant berkata,
”Selamat Datang kembali, Iant”.
Iant melihat tangannya dan menghadap ke mukanya. Lalu menyambut tangannya dan menjawab.
”Sudah lama kita tak bertemu Andre”.
Andre adalah sahabat Iant dari kecil. Tetapi sudah hampir satu tahun tak bertemu karena Andre berada di tempat yang jauh. Dia kesini karena dikabari Nita tentang keadaan Iant.
Kemudian, setelah dua hari Iant menetap di rumah sakit, dia boleh pulang dengan kursi roda. Kira-kira pagi hari Iant dijemput Andre dengan mobilnya. Iant merasa senang dan bahagia setelah sekian lama tidak menghirup udara luar ruangan. Iant masuk ke mobil dan duduk dengar relaks, sedangkan Andre mulai menyetir perlahan, kursi rodanya ada di bagasi. Diperjalanan, Iant termenung dan masih memandangi gelangnya itu. Apa arti dari semua ini? Apa maksud dari kata Give the Sun for Our Earth? Iant memikirkannya dengan diam menuju rumah tercinta. ‘Aku Pulang’, katanya dalam hati.
Part 2…
Mobil mulai memasuki halaman rumah Iant yang besar itu. Suara mobil yang halus yang keluar dari Honda Jazz milik Andre perlahan-lahan mulai hilang. Pintu mobil debuka dengan perlahan, memperlihatkan seseorang yang berbalut perban di seluruh tubuh. Mirip seorang mumi yang bangun dari tidurnya. Dengan berjalan perlahan, Iant mulai keluar dari mobil dan duduk dikursi rodanya. Dengan tenang dia memandangi mata teman-temannya yang menunggu kehadirannya itu. Mereka berdiri sejajar didepan rumah dan tersemyum simpul melihat Iant datang.
Kemudian Iant dIantar masuk ke rumahnya yang lumayan besar itu.
Gelang dari Thomas selalu dia genggam, dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganjal dihatinya. Kepalanya yang dibalut perban selalu bergerak-gerak memperhatikan ruangan yang dia tinggalkan. Melihat tiada lagi pecahan kaca yang bertebaran saat terjadi insiden bakaran itu.
“Tenang Yan, rumah ini kami jaga kok. Nggak usah kuatir”, kata Putri melihat tingkah laku Iant.
“Dan bekas peristiwa itupun juga sudah kubereskan. Aku kubur di kebun belakang”, kata Satria.
“Thank’s for all friends, gue selalu ngrepotin kalian”, kata Iant menatap temannya satu per satu.
“Nggak usah dipikirin yan, kita ikhlas kok”, kata Lia jongkok memegang tangan Iant yang masih lemas itu. Hanya bisa digerakan ringan.
“Makasih ya Li”, jawab Iant kemudian mengecup dahinya. “Kepalaku pusing, bisa antarkan aku kekamarku?”, kata Iant memegang kepalanya yang dihiasi perban itu.
Ia sangat bahagia karena Lia ada disitu, menemaninya dibelakang kursi roda. Berjalan perlahan dengan rona merah di pipi. Menuju kamarnya yang berhias warna merah terang. Seperti sebelumnya, Iant pelan-pelan berdiri dan mulai membaringkan dirinya kekasurnya dengan bantuan Lia.
Lia yang duduk disamping tubuh Iant yang berbaring lemah, hanya dapan memegang tangannya yang dingin dan melihat matanya yang terpejam, memandang wajahnya yang penuh dengan plester. Mata Lia pun mulai berkaca-kaca.
“Ada apa Li. Nggak usah cemasin gue. Gue pasti sembuh kok”, kata Iant setelah merasakan Lia hendak menangis.
“Yan, andai lo tahu. Saat melihat lo terbaring tak berdaya di ruang tamu. gue syok banget. Gue langsung teriak dan menangis didepan pintu rumah lo. Gue takut kehilangan lo Yan, gue takut”, kata Lia menelungkup di perut Iant sambil menangis.
“Sudahlah Li, kan gue dah di sini”, kata Iant kemudian mengangkat kepala Lia dan mengusap ai matanya. “Jangan nangis lagi ya”.
Iant teringat akan gelang yang diberikan Thomas dan menunjukannya kepada Lia. “Li, apa lo tahu tentang gelang ini?”.
“Give the Sun for Our Earth. Nggak tau, mangnya lo dapet dari mana?”, jawab Lia polos.
“Kalau gue cerita, paling lo nggak akan percaya”.
“Nggak apa, cerita aja. Gue suka kok denger cerita”, paksa Lia.
“Gue dapet gelang ini dari Thomas. Dia penjaga perbatasan antara duLia Kematian, Kekekalan, dan Kehidupan. Gue bisa balik kesinipun mungkin karena gelang ini”, terang Iant singkat.
“Wah, apa maksudnya bisa balik kesini karena gelang itu. Memangnya gelang itu istimewa ya”, kata Lia tak percaya.
“Ya kata Thomas sih gini ‘bawalah gelang ini bersamamu agar engkau diselamatkan dan menyelamatkan’, apa maksudnya”, Tanya Iant menatap Lia yang bingung.
“Yan, tau gue lagi bingung gini malah nanya kaya gitu. Yaa, mungkin lo bisa nyelamatin duLia dengan gelang itu. Atau gelang itu punya kekuatan gaib. Hehehehehe”, jawab Lia asal.
“Mungkin saja benar”, jawab Iant yang mulai mengantuk.
“Niy, lo bisa kan ninggalin gue sendiri, gue mau tidur”,kata Iant menatap mata Lia.
“Iya Yan, anything for you. Gue ketemen-temen dulu ya Yan Met bobo “, kata Lia kemudian keluar dan menutup pintu.
Dalam kesunyian kamar, Iant mulai menutup mata dengan perlahan. Semakin dalam, semakin dalam. Dan ketika ia hendak terlelap, tangan seseorang menepuk bahunya.
“Hai Nak, bagaimana kabarmu”, kata Thomas memandang wajah Iant yang terheran-heran.
“Bagaimana kau bisa kemari?” Tanya Iant tak percaya.
“Aku ini makhluk perbatasan, jadi bisa kemana saja, tidak hanya berada di dalam duLia yang gelap itu”, jawab Thomas.
“lalu, ada apa kau kemari. Ingin mencabuuut nyawaku lagi”, kata ian bercanda.
“tidak. Aku hanya ingin memberitahu apa yang bisa kamu lakukan dengan gelang itu”, kata Thomas menunjuk gelang di tangan kanan Iant.
“Gelang ini memangnya ada kekuatannya”.
“Ya, dan sangat besar. Dan aku ingin kau memakainya untuk menyelamatkan orang lain dan bmi kita”, jawab Thomas.
“Bagaimana aku bisa menggunakannya. Sedangkan aku yang sekarang ini tak bisa apa-apa. Hanya berbaring lemah tak berdaya”, protes Iant agak keras. Diluar, Putri yang sedang menyapu mendengar suara keras yang diucapkan Iant barusan berjalan menuju kamar Iant.
“Yaan, lo sedang icara sama sapa?”, Tanya Putri di depan pintu.
Iant yang mendengar suara Putri tak bisa berkata apa-apa. Tapi dengan sigap Thomas menjawabnya dengan suara Iant.
“Nggak papa kok Put, Cuma mimpi aja. Maaf ganggu”, kata Thomas sedikit tersenyum.
Iant yang melihat tingkah teman barunya hanya tersenyum.
“Lalu, apa arti dari Give the Sun for Our Earth”, Tanya Iant lagi.
“Seharusnya kau mencari sendiri. Tapi karena keadaanmu seperti ini, akan ku beritahu sajalah”, jawab Thomas. Iant hanya tersenyum.
“Itu berarti kau harus memberikan matahari, dan matahari adalah lambing cahaya atau pencerahan serta kehidupan. Tanpa mata hari kita tidak bisa hidup. Selain itu arti dari untuk bumi adalah kau harus memberikannya untuk kesejahteraan umat manusia. Karena bumi adalah planet yang sempurna dIantara planet-planet di bima sakti. Intinya, kau harus menyelamatkan duLia dengan memberi duLia pencerahan untuk tidak merusak bumi mereka lagi dan menyelamatkan lagi pohon-pohon yang telah mati”, jelas Thomas panjang lebar.
“lalu, mengapa harus aku”, Tanya Iant tegang.
“Karena kau berhasil melewati daerah kematian dengan selamat, sedangkan yang lain sudah jatuh ke dalam lautan api. Lebih tepatnya…. Itu sudah TAKDIRmu nak”, kata Thomas dengan mata yang tajam.
“Hei… jangan pandang aku dengan mata yag seperti itu!”, protes Iant tak enak.
“Maaf… kebiasaan.. bagaimana tubuhmu, sudah sembuh?”.
“Sembuh… kau liat sendiri kan, berapa gulung perban untuk menutup luka yang aku derita ini”, kata Iant dengan mata yang berkaca-kaca.
Sekali lagi, Putri mendengar teriakan Iant.
“Yan, kalau nglindur nggak usah keras-keras”, kata Putri dibalik pintu.
“Oke…oke.. maaf, Cuma mimpi buruk”, kata Thomas lagi-lagi menirukan vocal Iant.
“kembali ke permasalahan. Kau menganggap kau masih sakit dan sembuh dengan jangka waktu yang lama, begitu”, Tanya Thomas.
“Ya begitulah, tubuhku hangus dan aku terpental lima meter. It’s impossible, nggak mungkin”, bantahh Iant.
“Nak, apakah kau ingat kata-kata yang aku ucapkan waktu terakhir kali aku meninggalkanmu?”
“Mmm, apa ya…. Diselamatkan dan menyelamatkan. Kira-kira begitu”, jawab Iant sambil memegang dagunya.
“Jadi, buat apa kau memakai perban itu. Itu tidak perlu. Sekarang bangunlah dan lepas perban itu!”,perintah Thomas.
“bagaimana bisa, bangun saja susah. Apalagi harus nungging dan melepas perban. Badanku masih lemas”, keluh Iant tak tahan.
“Nak, jika pikiranmu berkata kau masih sakit dan tak kunjung sembuh. Kau takkan sembuh. Percayalah, berdiri dan lepas perban itu”, perintah Thomas sambil menunjuk ke depan kaca. Artinya Thomas menyuruhnya melepas perban didepan kaca dan Iant dapat melihat dirinya.
Part 3……
Iant memejamkan matanya, dia berharap dapat bangun dengan tegap seperti sedia kala. Dia berharap agar lukanya itu dapat cepat sembuh. Walaupun itu tidak mungkin. Tapi dia tetap percaya bahwa Tuhan melindunginya.
Akhirnya Iant membuka matanya, kakinya yang tadinya sakit sekarang sudah tidak terasa lagi. Badannya yang tadinya panas dan perih, sekarang sudah hilang. Dan dia tidak lagi merasa pusing. Pelan-pelan dia menatap Thomas. Thomas hanya mengangguk dan menujuk kaca sekali lagi.
Iant bagun dari tidurnya, melangkah dengan tegap dan lancar. Seperti tidak ada yang terluka. Dan sampailah dia didepan kaca kamarnya itu.
Pertama-tama Iant memegang kepalanya mencari jarum yang menjahit perbannya. Lalu dibukanya perban di kepala dengan pelan-pelan. Kemudian menuju badan dan terus sampai kaki. Disampingnya kini hanya ada gumpalan perban yang tak berguna.
Dilihathya tubuhnya pernah dia lihat sebelum memakai perban. Sempurnya, tidak ada cacat satupun. Bahkan bekas kecelakaan lima tahun silam juga hilang. Iant hanya tertunduk mmelihat perubahan yag terjadi padanya. Perlahan-lahan air matanya keluar membasahi pipinya.
“Sudahlah,jangan menangis. Menangis itu tidak ada gunyanya. Lebih baik sekarang kau berpakaian dan hampiri teman-temanmu dan beritahu tentang Mujizat yang Tuhan berikan ini”, Thomas mengatakannya dengan berkaca-kaca.
Kemudian Iant berjalan menuju lemari pakaiannya. Dan berpakaian seperti biasanya.
“Thomas, apa yang harus aku lakukan untuk berterima kasih padamu atas semua ini”, katanya setelah berpakaian.
“Sudahlah, aku hanya ingin kau menyelamatkan bumi kita ini. Itu sudah cukup. Dan melihatmu sehat dan hidup seperti inipun sudah cukup bagiku. That’s all”, jawab Thomas lalu memeluk Iant dengan erat. “Yan, aku hanya berharap padamu, berjuanglah. God Bless You son”, setelah berkata demikian,Thomas hilang bagai angin yang berlalu. Iant hanya tertunduk dan berkata dengan pelan,” Thank you Thomas”.
Dengan langkah tegap Iant keluar kamar. Suara pintu dibuka terdengar dari ruang menonton. Semua anak saling tatap.
“Kau mendengarnya Sat?” kata Putri.
“Jelas, kayaknya dari arah kamarnya Iant”.
“Ayo kesana, aku khawatir dengan Iant”, kata Lia cemas.
Kemudian semuanya kesana, kekamar Iant. Tapi yang didapat, Iant sudah tidak ada dan kamarnya terbuka lebar. Didalam hanya ada tumpukan perban dengan bekas darah. Semuanya mencari kesemua sudut ruangan. Tak terkecuali kamar mandi. Sekarang kamar Iant hanya diliputi oleh rasa cemas dan ketakutan. Tanpa disadari bahwa Iant sedang menuju kamarnya setelah mengambil air minum di kulkas. Melihat teman-temannya kelalahan Iant hanya tersenyum dan berkata.
“God Bless You Friends”, kata Iant didepan pintu.
Teman-temannya sangat kaget mendengar suara yang pernah mereka dengar dan mereka cari-cari saat ini.
“IANT!?”, teriak kelima temannya bersamaan.
“Ya, ini aku”, kata Iant sambil mengagkat tangannya.
Teman-temannya hanya terpaku melihat temannya yang sudah sembuh total tanpa bekas itu.
“Apa bener nie Iant?” Tanya Lia tak percaya.
“Iya.. benar ni gue. Lo pada nggak percaya?”.
“Gimana lo bisa sembuh total gitu? Nggak mungkin kayaknya”, kata Satria sambil geleng-geleng kepala.
“Wah parah lo Sat. Ni beneran gue Sat, friends. Please believe me, this is me”, kata Iant mencoba membuat teman-temannya percaya.
“Iya iya Yan. Kita percaya ni elo, tapi kita masih gag percaya lo sembuh secepat ini”, jelas Putri.
“Kalau gue cerita, mungkin kalian nggak akan percaya”, kata Iant berjalan menuju kasurnya.
“Nggak apapa Yan”, kata Andre mendekatinya.
“Gue nggak perlu cerita, itu nggak perlu. Yang penting, sekarang ni, kita mau buat kelompok untuk membangun citra bangsa dan duLia”, semua orang hanya mlongo mendengar kata-kata Iant barusan.
“Maksudnya Pak”, kata Satria tak mengerti.
“Pak-pak, gue belum nikah geblek”, omel Iant. Semuanya tertawa kecuali Andre. Dia masih penasaran pada keadaan Iant saat ini. Bagaimana dia dapat sembuh secepat itu.
“Ahh, nggak penting. Lagian gue Cuma bercanda. Hahahaha. Ya udah, sekarang pulang dulu aja dah siang. Dan gue mau bicara ma Andre. Besok ketemu disekolah”, kata Iant setengah ngusir.
Anehnya semua anak pulang kecuali Andre yang masih terpaku disitu. Sepertinya didalam kata-kata Iant terdapat hipnotis yang dapat mempengaruhi setiap orang.
“Ndre, lo tau kenapa lo nggak gue pulangin”, Tanya Iant menatap Andre.
“nggak. Mang ada apa sih Yan. Napa semua orang disuruh pulang”,jawab Andre seenaknya.
“Beri aku sebuah biji”, kata Iant. Kemudian Andre menemukan biji jeruk d bawah kakinya dan menyerahkannya pada Iant.
“Ini yang gue nggak ingin mereka tau”, kata Iant kemudian menutup biji itu dengan tangannya. dari tangannya mulai keluar daun, batang dan akar, dan tumbuh menjadi pohon jeruk dengan tinggi satu meter diatas tangannya. Dan mengubahnya lagi menjadi biji.
“Haaah, gimana lo bisa bikin gituan. Lo belajar sihir ya. Sihir itu nggak boleh Yan. Dosa”, kaget Andre sambil berkothbah.
“Bukan, ini yang pengan gue kasih tau ma lo. Dan mereka Cuma cadangan”.
“cadangan?”.
“Cadangan yang berarti mereka hanya mengiikuti kita dan bertugas mengganti alih kapanpun dan dimanapun”.
“Ooo, gitu ya. gue ajarin dong, gue juga pengin tau Yan”, rengek Andre.
“Gag boleh, lo Cuma sebagai pelacak aja”.
“Yaudah deh, terserah lo aja”, rengut Andre.
“Nah sekarang mau apa kita?”, Tanya Iant ngawur.
“HAH!! Lo yang mau ngajak gua kok malah nanya?!”, teriak Andre sewot.
“Iya-iya, Kalo gitu lo mw ikut gue gag?”.
“Kemana”, Andre penasaran.
“Lubang Tanpa Dasar Terbesar di MarituLia…..I will giving miracle”, kata Iant melayang.
“AYO, Let’s go to Hell”.
“Muka lo Hell, Udah lah, ayo berangkat”, kata Iant memegang tangan Andre.
Menyeretnya memasuki pintu. Dan tiba-tiba saja mereka sudah sampai pada bibir Lubang. Andre yang belum tau apa-apa hanya tercengan melihat keajaiban yang dibuat temannya itu.
“A…a..a…apa ini lubang yang terkenal di tv itu?”, Tanya Andre tak percaya.
“Seperti yang kau lihat”, jawab Iant santai.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan pada Lubang ini”.
“Aku berusaha untuk membuat lubang ini tertutup kembali, lubang ini sudah memakan hamper 2000 jiwa tiap tahunnya, dan menjadi masalah terbesar di duLia. Aku tak bias membiarkannya, itu sebabnya, aku akan memberikan cahaya kehidupan bagi korban-korbannya sehingga mereka akan tenang. Itu yag ku sebut “Give the sun for our earth”. Sebagai gantinya, mungkin aku tidak akan hidup lagi. Kekuatanku telah habis juka kugunakan untuk ini”, terang Iant panjang.
Andre mendengan itu hanya bias meneteskan air mata, “Aku tak rela jika kau pergi”.
“Tapi ini kewajibanku dan kemauanku, ikhlaskan kepergianku, aku akan mengunjunngi kalian. Minggir Ndre, gue mau mulai”.
Andre menjauhi Iant sekitar 3 meter. Sedangkan Iant mulai mengangkat tangannya. Matanya yang sayu itu mulai terpejam, mengucapkan beberapa kata yang tak terdengan oleh Andre. Pelan-pelan dia menurunkan tangannya, membuka matanya dan menghentakan tangannya ke tanah. Saat itu terdengan teriakan memilikan dati Iant.
“AAAAAAAAAAAAA”…………suara itu terdengar disertai gemuruh gempa yang terjadi di daerah itu. Kira-kira 5,5 R besar gempa tersebut. Semakin lama, dari lubang tersebut naik suatu daerah tanah yang membuat lubang itu tertutup kembali. Belum cukup sampai disitu, Iant menghentakan kembali tangannya di tanah, sehingga mulai muncul pohon Ek. Pohon itu tumbuh menjadi besar memenuhi lingkar lubang itu. Selesai itu Iant mengangkat tangannya dan merelekskan sebentar. Dia berbalik menghampiri Andre. Dengan tubuh tang kurus, bercucuran keringat dia berkata, “maaf ndre, ini yang terakhir aku melihatmu”. Muka Iant lama-lama pucat, dan ambruk. Dengan segera Andre menopang Iant agar tidak jatuh. Badannya dingin, lemas. Air mata Andre pun tak kuasa ditahan, mengalir di pipinya. Menatap wajah sahabatnya yang tenang, mati dengan senyuman. Seolah keinginannya telah terkabul. Hari itu, dibawah Pohon Ek, tersandar harapan baru, harapan untuk memberikan cahaya abadi bagi orang lain.
Hitam.
Ada titik putih disana, lari, dia berlari semakin kencang. Meloncat melewati titik itu. Terbuka….
Mata Iant kini terbuka, dan benar-benar terbuka. Dia melihat sekeliling. Seperti didalam Rumah Sakit. Dia memegang kepalanya yang masih terasa nyeri. Dia teringan gelangnya, diliriknya kedua tangannya, tak ada gelang satupun. Jadi semuanya hanya mimpi. Diihatnya jam, menunjukan pukul 12 malam tepat. Iant berguman, “sebenarnya apa yang terjadi, apa yang direncanakanNya padaku”. Dia merenung, kemudian terlelap dalam tidurnya.
Part…4
Pagi itu sekitar jam 7. Lia, Putri, Very, Nita dan Andre menjenguk Iant. Lia meneteskan lagi air matanya ketika melihat Iant yang masih terbaring. Mereka belum tahu bahwa Iant sudah sadar. Lia masuk ke kamar Iant, “Yan, sudah satu minggu kamu disini, cepatlah sadar Yan, aku kangen senyumanmu, aku rindu pelukanmu”, kta Lia sambil menangis di samping Iant. Iant terbangun mendengar permohonan Lia, ia tak tega seseorang yang dicintainya sedih seperti itu. Memberanikan menjawab, “Sudahlah, Jangan menangis lagi yah, aku disini kok”.
Mendengar itu, Lia kaget setengah mati. Dia masih tertunduk disisi Iant mengingat kata dokter, bahwa Iant didiagnosa akan koma selama 2 bulan. Tapi karena mendengan suara Iant, perasaan Lia campur aduk, senang campur sedih.
Pelan-pelan diangakatnya kepala, melihat Iant yang tersenyum. Tidak pikir panjang, Lia memeluk Iant sambil menangis sejadi-jadinya. Merasakan kehangatan tubuh Iant yang dia rindukan, karena saat dia koma tubuhnya terasa dingin.
“Sudahlah Lia, aku kan udah bangun. Jangan nangis dong”, kata Iant coba menenangkan Lia yang sedang menangis. Dia tahu jika Lia belum bisa menjawab karena sedang menangis, pelan-pelan tangannya mulai memeluk Lia.
“Katanya kamu rindu pelukanku”, kata Iant tersenyum.
Sejenak tangis Lia terhenti.
“Yan, gue ngga tahu harus bilang gimana, tapi aku mencintaimu Yan..hiks”, kata Lia serak.
“Iya Li, aku tahu. Udah ya, jangan nangis, aku nggak mau kamu nangis gitu”, kata Iant memandang wajah Lia.
“Iya Yan”, Lia mengusap air matanya. Disaat yang bersamaan, teman-teman lainnya datang. Mereka sama terkejutnya dengan Lia, sehingga barang-barang yang ada di tangan berjatuhan kebawah.
“WOI, barang-barang kalian jatuh”, tegur Iant sambil tersenyum.
Serempak semuanya memunguti barang masing-masing dan meletakkannya di meja. Sejenak mereka berhenti. Dan menghampiri Iant serta memeluknya erat-erat.
“Gue kira gue bakal kehilangan elo Yan”, kata Andre sambil berkaca-kaca.
“nggak lah Ndre, ini bukan terakhir kali gue lihat elo”, Iant teringat kata-katanya di mimpi.
“Ngawur lo Yan”,sewot Putri. “Kita disini ngawatirin elo”, kata Putri sambil meneteskan setitik air mata.
“Bener tu Sob, lo dah seminggu gag bangun. Kita khawatir bakal kehilangan elo selamanya”, kata Very mengusap rambut Iant.
“Jangan mati ya Yan”, kata Nita tersenyum menangis.
Semua yang ada disitu sekarang merasa bahagia, harapan mereka akan kesembuhan temannya membuat Iant pulih dengan cepat. Dan ajaibnya lagi, siang ini Iant sudah boleh pulang.
Sebelum pulang, Iant ganti baju di kamar mandi. Saat melepas bajunya, dia kaget setengah mati. Di dadanya terdapat bekas luka terkena petir, dan bentuk dari luka itu adalah “MATAHARI”. Dia memandang bekas luka itu dalam-dalam, mengingat mimpi-mimpinya.
Selesai ganti baju di pulang bersama teman-temannya, itu juga setelah membayar uang di Rumah Sakit. Dalam perjalanan pulang Iant merasa ada yang kurang,
“Eh, kalian tahu siapa dokter yang ngrawat gue?”.
“Ya tahu lah”, jawab Andre.
“Perempuan atau Laki-laki”.
“Laki-laki Yan”, jawab Andre lagi.
“Yaah, gue kira perempuan, padahal enak tuh kalo perempuan”.
“Pikiran lo gag berubah ya!! Dasar mesum lo”, Sewot Putri. Lia dibelakang cuma senyam senyum.
Semuanya tertawa, keceriaan terpancar didalam mobil itu. Seperti terlahir kembali.
“Eh, ada yang tahu nama dokternya nggak?”, tanya Iant lagi.
“kalo nggak salah namanya Dokter Thomas”, jawab Lia.
Iant terkejut mendengar nama itu, dia tahu nama itu hanya muncul di mimpi saja, tapi mengapa menjadi seperti ini, dia terdiam, merenung kembali. ‘Mungkin ini memang rencana-Nya’, guman Iant.
Iant Series “Give the Sun for Our Earth”
Ending
Next series: “A little Piece of Peace”
Kunjungi webnya di: http://ardiantyosa.wordpress.com
Atau kirim kritik saran di: yosasensei@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar